Minggu, 03 Juli 2011

Di Batas Horizon part 2

Mendengar kabar yang dibawa Muhlis secara tiba-tiba, semua yang berada di warung terperanjat. Tak terkecuali Riki dan Pak Mahmud.

“Yang bener lu lis, jangan becande, si Zaenab kan hamil belom genep 9 bulan? Kayaknye baru 8 bulan lebih.”

“Bener bang Rojak, aye kagak boong, Tadi pas aye ngasi kabar ke mpok Zaenab soal lakinye nyang mati dikeroyok semalem, die langsung histeris, trus die kesakitan kayak mau beranak.”

“Ah, goblok bener lu. Harusnya nyang kayak gitu jangan langsung dikabarin ke die! Kabarin ke gue dulu! Biar gue nyang ngasih tau pelan-pelan ke die. Lagian kok bukannye gue dulu sih yang dikasih tau? ”

Bang Rojak kalap. Tangannya mengepal, siap menghajar Muhlis.
“Udeh, tenang Bang. Mending sekarang kite pergi ke rumahnye si Zaenab. Kesian die.” Pak Mahmud yang sudah selesai menyantap bubur segera menengahi mereka. Setelah agak tenang, Bang Rojak segera bersiap menutup warung buburnya. Riki yang belum selesai makan lantas gelagapan. Untung buburnya tinggal sedikit.

Mendengar keadaan Zaenab yang akan melahirkan tanpa dukungan suami, Bang Rojak memang pantas khawatir karena Zaenab adalah adiknya. Suami Zaenab yang meninggal semalam adalah Zakariya, tukang martabak yang tewas dikeroyok oknum ormas yang tidak mau menyerahkan uangnya saat dipalak.

Malam itu, beberapa oknum ormas yang sedang dalam kondisi mabuk kehabisan uang untuk membeli minuman keras dan meneruskan mabuknya. Karena itu. mereka memaksa Zakariya yang berada di sekitar mereka untuk menyerahkan seluruh uangyang dimilikinya. Atas dasar kepentingan persiapan kelahiran calon buah hati tercinta, Zakariya menolak tuntutan mereka sehingga dirinya dihajar, seluruh peralatan memasak martabaknya dihancurkan, dan uangnya dirampas. Setelah puas menghajar, mereka membiarkan Zakariya terkapar di jalanan.


Yang pertama kali menemukan Zakariya adalah aparat polisi yang sedang patroli. Saat itu kondisi Zakariya sedang sekarat. Kebetulan, Muhlis yang merupakan hansip setempat lewat dan ikut Polisi membawa Zakariya ke rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, kondisi Zakariya bertambah buruk dan meninggal beberapa saat kemudian. Setelah sempat diinterogasi mengenai masalah keamanan di kompleknya, Muhlis yang lugu dan polos segera disuruh untuk mengabarkan kematian Zakariya pada keluarganya. Karena itulah dia langsung pergi memberitahukan Zaenab tanpa memerhatikan kondisinya yang sedang hamil tua.

Saat ini, situasi rumah Zaenab ramai oleh para tetangga. Banyak yang membantu menenangkan Zaenab dan memberinya air minum. Sisanya hanya menonton saja. Di teras rumah, tampak Zaenab yang kesakitan memegangi perutnya yang besar sedang di usap-usap oleh ibu tetangga.

“Aduuh . . sakit . . aduuhh.”  Zaenab terus mengaduh lantaran rasa sakit yang tidak tertahankan dari perutnya.

Semacam cairan bening mengalir dari selangkangan membasahi kaki Zaenab. Air ketubannya pecah. Dia akan segera melahirkan. Meski kasihan, entah kenapa para tetangga segan untuk membawa Zaenab segera ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah Zaenab, Bang Rojak segera menghambur ke arah adiknya yang tengah mulas kesakitan.

“Kenape gak ada yang bawa ade gue ke rumah sakit, hah!?” Bang Rojak murka, sesaat setelah melihat kondisi adiknya.

“Kan nungguin Bang Rojak dateng, lagian kan kite kagak ada duit, maklum tanggal tue.” Ujar salah seorang tetangga, tak rela diomeli oleh Bang Rojak.

Bang Rojak makin panas.

Untunglah Pak Mahmud segera mengambil mobil suzuki APV dari rumahnya. Bang Rojak dan Riki segera membopong Zaenab yang semakin kritis keadaannya ke dalam mobil dan meluncur ke rumah sakit.

Di perjalanan menuju rumah sakit, telepon genggam Riki bergetar. Ada satu pesan singkat masuk, dari Ayahnya.

-Dmn kamu? Ayo plg, sgra brgkt ke bandara-

Rasa kemanusiaan Riki membuatnya lupa bahwa hari ini dia harus terbang meninggalkan kota asalnya menuju kota lain tempat Ayahnya dipindah-tugaskan. Jika Riki meminta Pak Mahmud untuk putar-balik mengantarkannya kembali, waktunya tidak akan sempat. Mereka sudah separuh jalan menuju rumah sakit. Apalagi jalanan kota yang macet dan semrawut membuat waktu tempuh berkali-kali lipat. Padahal Zaenab sudah hampir melahirkan.

Riki langsung putar otak, harga tiket pesawat yang mahal tak mungkin membuatnya menyuruh orangtuanya membatalkan keberangkatan hanya karena kecerobohan dirinya.

-Maaf Yah, ad kndisi darurat, detailny nnti Riki telfon. Ayah n Ibu brgkt dluan aj. Nnti Riki nysul dgn bus mlam-

Di rumah, Ayah dan Ibunya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kelakuan anak mereka memang sering di luar dugaan. Tapi di antara semuanya, ulahnya hari inilah yang paling mengejutkan. Ya sudahlah, toh anak mereka sudah besar dan mandiri. Apalagi barang-barang yang diperlukan sudah diantar duluan lewat jasa pengiriman. Jadi tidak perlu banyak khawatir apabila persiapan Riki terburu-buru dan ada barang yang tertinggal. Akhirnya mereka berangkat ke bandara meskipun dalam hati kecil Ibu, Riki akan diomeli saat bertemu nanti!

Perjalanan menuju rumah sakit rupanya tidak semulus yang dikira. Mobil Pak Mahmud terjebak, tidak bergerak dalam antrian panjang di sekitar istana kepresidenan. Rupanya ada iring-iringan mobil Presiden dan beberapa pejabat penting yang akan lewat. Jalan utama ditutup oleh aparat pemerintah sehingga menyebabkan kemacetan yang luar biasa. Di saat genting seperti ini ada saja ulah pemimpin yang membuat rakyatnya sengsara. Lihat Zaenab, sudah basah oleh peluh karena menahan sakit yang teramat sangat. Bahkan, mungkin saja Zaenab tidak sendiri di saat seperti ini. Di mobil-mobil lain, mungkin saja ada wanita hamil lain yang tengah mulas akan segera melahirkan.

Tidak ada yang tidak kesal dengan kejadian ini, begitu pun Riki. Seharusnya para pemimpin itu lebih merakyat agar bisa merasakan penderitaan rakyatnya dan bisa menyelesaikan pelbagai permasalahan di negeri ini sebaik mungkin. Bukannya malah enak-enakan santai dengan fasilitas mewah tapi kontribusi untuk rakyat nol!. Apa salahnya jika para pemimpin ikut merasakan suasana jalan yang sama dengan rakyatnya?. Percuma saja mereka sok mencari solusi mengurangi kemacetan jika salah satu penyebab kemacetan itu adalah mereka sendiri!. Rupanya mereka tidak mempunyai kesadaran bahwa segala fasilitas mewah yang mereka nikmati berasal dari uang rakyat. Atau jangan-jangan mereka sadar, tapi nurani mereka telah mati?. Pantas saja jika mereka sering membuat kebijakan yang tidak ada nilai kebajikannya bagi masyarakat negara ini.

Setengah jam kemudian akhirnya rombongan pemimpin negara itu sudah lewat. Jalan kembali dibuka oleh aparat yang sok berkuasa, mendongakkan muka ke arah langit seakan tak peduli dengan kondisi bumi. Mobil Pak Mahmud kembali meluncur ke rumah sakit dengan kecepatan penuh. Saat ini, kondisi Zaenab semakin kritis. Di tengah usahanya menahan sakit sambil sesekali memijit perutnya yang buncit, darah mulai mengalir melewati kakinya  yang gemetaran.

Beruntung, rumah sakit sudah di depan mata. Mobil Pak Mahmud meluncur santai masuk ke pelataran rumah sakit. Dalam sekejap setelah pintu terbuka, Zaenab langsung dibawa oleh petugas rumah sakit masuk ke ruang bersalin. Bang Rojak, Pak Mahmud, dan Riki berjalan santai ke arah resepsionis. Nafas mereka sudah lumayan lega. Termasuk Pak Mahmud, yang nanti sore harus segera membersihkan mobilnya yang kemarin baru dicuci.

Sayangnya, kelegaan itu tidak berlangsung lama.

“Maaf pak, calon pasien tidak bisa ditangani jika belum membayar uang muka sebesar Rp. 2.500.000.”

“Tapi saya hanya tukang bubur, darimana uang sebesar itu? Tolonglah mbak.”

Air mata Bang Rojak berlinang. Tampak aura ketakutan di wajahnya. Takut kehilangan adiknya tercinta. Yang menjadi tanggung jawabnya setelah Ayah mereka meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Dia hanya ingin seluruh anggota keluarganya bahagia. Terlebih Bang Rojak adalah anak sulung dalam keluarganya.

“Maaf pak, saya tidak bisa membantu, itu sudah menjadi peraturan.”

 . . . . .
Bersambung lagi deeh

2 komentar:

  1. Aaaaaaaaaa...

    lanjut! lanjut!!

    -penasaran. terutama sama si aliya :">

    BalasHapus
  2. waah, saya pun penasaran bang!
    *lho?

    BalasHapus