Kamis, 14 Juli 2011

Aku Yang Lewat Sambil Berlalu


Malam ini malam minggu. Malam yang bagi kebanyakan orang adalah waktunya bersenang-senang. Melepas segala lelah setelah aktivitas menjemukan selama sepekan. Entah bersenang-senang dengan memadu kasih bersama pasangan tercinta atau sekadar berkumpul dengan konco-konco sepermainan senasib sepenanggungan, pokoknya malam ini adalah saatnya bersenang-senang, titik, tak perlu banyak kompromi.


Sebagai salah seorang manusia yang hidup sewajarnya, pun aku betapa inginnya ikut serta dalam pesta hingar-bingar malam di akhir pekan tersebut. Aktivitas kampus yang sangat melelahkan dan menjemukan membuat tubuhku meronta, meminta haknya untuk merasakan kesenangan seperti insan ciptaan Tuhan lainnya. Mengingat hari-hari kuliah di kampus selama sepekan ini, membuatku tak tega, ku iyakan permintaannya lalu ku bawa ia keluar dari kamar kos yang sumpek dan betapa membosankannya, untuk menikmati angin malam yang sejuk dan semilir.




Namun hendak kemana? Kulihat dari begitu banyak pesta yang terselenggara di malam penuh suka, belum ada yang mengundangku untuk turut serta.


Yah, mau bagaimana lagi? Di sini aku hanyalah seorang pendatang yang belum memiliki banyak teman. Kenalan pun terbatas hanya dengan orang-orang yang acuh dengan indahnya gemerlap malam di akhir pekan. Tipikal orang yang asyik tenggelam dalam dunianya sendiri.


Tak ambil pusing, kuikuti saja mau kemana kakiku melangkah. Tak ada salahnya, toh siapa yang tahu akan terjadi apa malam ini? Terkadang permainan takdir Tuhan terlalu menarik untuk diterka-terka, karena hampir tidak sekali pun terkaanku tepat. Seperti kata seorang temanku yang selalu tampak religius, “Tuhan itu memberikan rezekinya lewat jalan yang tidak diduga-duga.” Yah, memang lebih baik tidak usah ikut campur akan kehendak Tuhan. Biarkan semuanya mengalir dan jalani hidup seperti biasanya saja itu sudah cukup.


Seperti malam minggu biasanya, malam ini sungguh indah. Suasana yang ramai, udara yang sejuk, lampu-lampu gemerlap dan berbagai macam keceriaan lain yang tidak akan kau dapatkan di malam lain tersedia di malam minggu. Banyak kekasih berpasang-pasang bertebaran di sepanjang langkah aku berjalan. Agak risih memang. Apalagi sejenak beberapa di antara mereka menatapku yang berjalan gontai sendirian dengan berbagai macam perasaan, entah kasihan atau apa pun itu yang jelas aku tidak begitu peduli. Lagipula, bukankah jodoh itu di tangan Tuhan? Biar saja Dia yang mengurus jodohku. Toh aku rada malas mengurus hal-hal seperti itu di saat ini. Hei, bukannya aku tidak normal! Aku pun menyukai lawan jenis seperti yang lainnya. Tetapi bagiku perihal mengenai jodoh belum sampai pada waktunya. Masih banyak hal lain yang lebih penting. Lagi pula ini pilihan hidupku, apa pedulimu?


Kakiku masih melangkah tak tentu arah. Di depanku tampak seorang pengemis berwujud wanita tua yang berpakaian sangat lusuh. Wajahnya yang keras dan banyak dihiasi keriput seakan ingin menceritakan betapa sulit perjalanan hidupnya selama ini. Tangannya yang menengadah tampak lelah, sepertinya ia sudah menengadah sepanjang hari tanpa henti. Ditambah ekspresi wajah yang memelas itu dan lusinan borok yang menghiasi kaki rentanya sungguh menerbitkan rasa iba bagi siapa saja yang melihatnya. Tentu hanya bagi mereka yang masih memiliki rasa di hati.


Kupikir-pikir, wanita setua itu tentunya memiliki keluarga bukan? Seharusnya dia memiliki keluarga yang peduli terhadap keadaannya yang renta, yang tidak patut lagi mencari nafkah! Di usia setua itu, bukankah seharusnya dia sudah memiliki anak-anak? Atau mungkin cucu? Anak-anak yang dikandungnya dengan susah payah selama 9 bulan 10 hari, yang dilahirkan dengan susah payah bahkan harus bertaruh nyawa. Kemana mereka?


Jangan-jangan itu hanya dalam pikiranku saja.

  

Kurogoh kantong celana jeansku, siapa tahu aku menemukan uang-uang kecil sekedar penghibur hati. Tidak salah, kurasakan dalam kantong, memang ada sekitar beberapa lembar uang seribuan dan beberapa keping uang receh 500 dan 100 rupiah sisa kembalian makan selama berhari-hari. Yah, biarpun tak seberapa, ku harap bisa membantu. Sudah ku genggam beberapa uang kepengan dan siap ku ulurkan pada si wanita tua pengemis di pinggir jalan.


Tak sampai sedetik kemudian, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Artikel-artikel itu. Artikel-artikel yang dimuat berbagai media, cetak maupun elektronik. Artikel-artikel mengenai potret kehidupan para pengemis yang sesungguhnya. Para pengemis yang berada di pinggir-pinggir jalan raya itu yang ternyata bekerja dengan rapi dan sangat terorganisir. Datang berbondong-bondong dari desa ke kota, mengatur posisi-posisi ditempatkannya para agen pengemis di tempat-tempat yang strategis seperti perempatan lampu merah atau pasar dalam seketika dan lantas langsung bekerja, meminta-minta uang pada orang-orang yang dianggapnya berkelebihan. Bukankah hal demikian berarti mereka telah  menyia-nyiakan kreatifitas yang dianugerahkan Tuhan? Sungguh terlalu, seperti kata Bang Haji.


Hal yang lebih mengherankan, dalam artikel-artikel tersebut disebutkan bahwa banyak di antara mereka bukanlah termasuk orang yang tidak mampu. Di daerah asalnya, mereka adalah orang berada, kaya, memiliki tanah dan sawah berhektar-hektar. Bahkan kulkasnya pun 2, kata seorang temanku yang kebetulan memiliki tetangga seorang pengemis. Namun mengapa mereka memilih untuk menjadi pengemis? Apakah penghasilan mengemis jauh lebih banyak dibanding mengolah tanah di desa? Jika iya pun, aku tak bisa membenarkan perbuatannya. Menurutku, memilih untuk menjadi pengemis berarti memilih untuk tidak punya harga diri. Mengingat banyaknya jumlah pengemis di negeri ini, betapa mirisnya jika mengetahui banyaknya orang yang tidak memiliki harga diri. Pantas saja, kapan negeri ini mau maju?


Akhirnya kuurungkan niatku untuk memberi si wanita tua pengemis itu uang meski hanya sedikit. Dengan memberinya uang, bukankah sama saja dengan membenarkan tindakan mengemis? Lagipula bila memiliki kelebihan harta, akan lebih baik bila ku sumbangkan saja ke kotak-kotak amal di rumah Tuhan. Setidaknya uang itu akan lebih bermanfaat untuk menjaga dan memelihara rumah Tuhan agar kita tetap nyaman beribadah bukan?


Aku pun melewati si wanita tua pengemis itu dengan cuek, meski dia sudah menengadahkan tangan dan memasang wajah kasihan.


“mas, sedekaah mas . . . “


“Ah, masa bodo.” Sahutku ketus, tidak peduli.


Tampak kekasih berpasang-pasangan di pinggir jalan menertawakan sesuatu, entah aku atau siapa. Sedangkan aku, hanya berlalu, tanpa tahu hendak kemana.

2 komentar: