Kamis, 30 Juni 2011

Di Batas Horizon part 1


Di langit tengah malam ini, tampak bulan bermalu-malu dan bersembunyi di antara sekumpulan awan. Bintang-gemintang yang berserakan di atasnya hanya tersenyum geli melihat ulah sang rembulan.  Di bawah sana, di sudut-sudut kota tampak tukang nasi goreng dan tukang makanan lainnya masih keluyuran mengais nafkah untuk mengisi perut keroncongan keluarga mereka yang menanti di rumah. 

Zakariya, anggota dari kelompok pengadu nasib di malam itu pun berjualan martabak dengan tujuan yang tidak jauh berbeda. Dia mencari uang demi menyiapkan biaya persalinan istrinya tercinta yang perutnya kian membuncit tiap bulan. Namun sayang, rupanya keberuntungan tidak menyertainya malam ini. Dia tewas dihajar segerombolan oknum ormas yang tidak bertanggung jawab karena tidak mau menyerahkan hasil jerih payahnya berkutat dengan minyak dan penggorengan. Tampak mayatnya yang babak belur dan bersimbah darah menyungging senyum, terbayang dirinya berkumpul dengan istri dan anak yang ada di dalam perutnya berkumpul dan bermain di taman surga.
Begitulah dunia kala malam, penuh peristiwa yang tidak terduga. Sayangnya dari seluruh peristiwa malam hari hampir keseluruhannya bernuansa negatif dan jauh dari nurani, seperti kasus Zakariya barusan. Saat ini, pelajar sekolah menengah yang baik seharusnya sudah tertidur pulas demi lancarnya proses menuntut ilmu esok hari. Namun tidak dalam sebuah rumah. Tampak dari luar masih bercahaya lampu neon beberapa watt. Di dalamnya terlihat seorang pemuda yang memandang kosong ke langit-langit kamarnya, gelisah.

Aliya, gadis manis periang bermata bening, itulah penyebab kegelisahan pemuda tersebut. Sudah 2 minggu gadis pujaan hatinya tidak masuk sekolah lantaran sakit cacar. Pada saat ia mendengar kabar Aliya sudah sembuh dan akan masuk keesokan harinya, itulah saat ia harus pindah ke luar kota karena pekerjaan ayahnya. Ingin sekali dia masuk sekolah esok hanya untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Namun, pesawat yang akan membawanya pergi harus lepas landas pagi sekali, tidak akan sempat.

Di kamarnya yang tidak begitu luas, dia meratapi nasibnya karena tidak ikut menjenguk Aliya bersama kawan-kawannya beberapa hari yang lalu. Dia tidak ikut karena dirinya belum pernah terkena cacar dan takut tertular. Saat itu memang belum ada kabar bahwa dirinya sekeluarga akan pindah ke tempat yang jauh dan berpikiran masih ada hari dia kan bertemu Aliya di sekolah. Namun kini, semuanya hanya tinggal penyesalan. Dunia telah berkonspirasi untuk tidak membiarkan mereka bertemu bahkan hanya untuk mengucap salam perpisahan.

Dia mulai menimang-nimang telepon genggamnya. Sayang, Aliya tidak memiliki telepon genggam. Aliya memang berasal dari keluarga yang sangat sederhana, kehidupannya terbilang pas-pasan. Ayahnya sudah meninggal dan Ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Aliya dan Ibunya bergantung pada penghasilan kakak Aliya yang tidak seberapa. Terkadang, Aliya membantu meringankan beban perekonomian keluarganya dengan bekerja paruh waktu. Meski hasilnya tak seberapa, setidaknya cukup untuk uang saku sehari-harinya di sekolah. Untunglah di sekolah Aliya termasuk gadis yang sangat pandai. Untuk membiayai pendidikannya, Aliya mendapatkan beasiswa dari negara. Sudah manis, pintar, bersahaja, mandiri pula. Laki-laki mana yang tidak tertarik pada dirinya?

“Riki! Mau tidur jam berapa kamu!? Memangnya kau lupa kalau besok kita harus berangkat pagi-pagi!?”

Terdengar suara nyaring ibunya yang kesal  melihat lampu kamarnya masih menyala sedangkan malam sudah sangat larut. Langsung saja dia mematikan lampu dan bergegas meringkuk dalam selimut. Setidaknya dia sudah bisa mengendalikan perasaannya dan tertidur 3 jam kemudian.
. . .
Keesokan harinya, Riki bangun agak kesiangan. Dia panik dan langsung lari tunggang langgang menuju kamar mandi tanpa membawa handuk. Melihat putranya seperti itu, Ayah dan Ibu Riki hanya tertawa. Mereka dikabari bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi mengalami delay selama beberapa jam. Meski pada awalnya merasa kesal, namun akhirnya mereka menerima dan menjadi agak santai menyiapkan keberangkatan. Tentu saja, Riki belum mengetahui hal itu.

“Apa!? Kalau sudah tahu pesawat kita delay, kenapa tidak bilang dari tadi?” Riki menggerutu saat mendengar kabar pesawatnya delay. Wajar saja, dia sampai kelimpungan karena lupa membawa handuk saat akan mandi tadi. Tidak hanya itu, dia pun sempat keliru keramas dengan menggunakan odol saking terburu-burunya.

“Siapa suruh kamu begadang semalam? Kalau tidak ingin kesiangan seharusnya tidak usah begadang!” Ibunya tidak kalah sengit, dia sendiri saksi atas kesalahan yang dibuat Riki semalam, begadang.

“Sudah. . sudah . . tidak usah ribut pagi-pagi begini. Dari pada ribut lebih baik kamu jalan-jalan keluar, sekalian olahraga.”

Riki menuruti kata Ayahnya. Dia langsung beranjak keluar rumah sambil mencomot sepotong kue favoritnya yang terhidang di atas meja.

Karena bukan hari libur, suasana di kompleks cukup sepi. Di sepanjang jalan Riki hanya bertemu dengan anak kecil yang bermain kelereng dan pedagang sayur dikerumuni fans setianya, ibu-ibu dan pembantu rumah tangga. Tidak berapa lama kemudian, perutnya mulai keroncongan. Wajar saja, dia tidak sempat sarapan sebelum meninggalkan rumah. Untunglah di ujung jalan sana telah menanti warung bubur ayam Bang Rojak yang sudah terkenal kelezatannya sehingga menjadi favorit warga komplek. Pada saat Riki memasuki warungnya Bang Rojak, terdapat Pak Mahmud yang juga sarapan bubur di sana. Raut wajahnya tampak bingung, bubur ayam di hadapannya belum tersentuh sedikit pun. Bang Rojak tersinggung.

“Ada apa nih Pak Mahmud? Kayaknya lagi galau ya?.”

“Ah elu ki, bahasa lu kayak ngobrol sama anak muda aja pake galau segala, hahaha.”

“Kalo ada yang ngeganjel hati, diobrolin aja pak. Kalo dipendem bisa sayang . .”

“Sayang apanya?”

“Sayang buburnya tuh, encer”

Sontak Pak Mahmud pun tertawa. Bang Rojak yang cemberut tidak bisa menahan senyumnya.

“Bise aja lo ki, hahaha. Jadi gini, gue kan dapet warisan tanah yang lumayan luas dari babeh gue. Kebetulan anak gue yang paling gede, Si Ahmad kan baru lulus SMA. Rencananya tuh tanah mau gue jual buat biaya kuliahnya die. Cuman keluarga yang laen pada kagak setuju. Katanye mending buat bikin kontrakan aje. Trus tuh kontrakan bisa diwarisin lagi ke Si Ahmad. Menurut lu gimana ki?”

Meski pun masih sekolah, terkadang warga suka konsultasi berbagai masalah pada Riki. Tidak heran, selain sifatnya yang supel, dia memiliki otak yang jenius dan wawasan yang luas. Lihat saja, dibanding Bang Rojak, rupanya Pak Mahmud lebih memilih menceritakan masalahnya pada Riki.

“Menurut saya pemikiran Pak Mahmud sudah sangat tepat. Warisan yang paling berharga bukanlah harta . .”

“Siapa yang lagi ngomongin harta ki? Kite pan lagi ngomongin tanah”

“Maksudnya harta dalam bentuk tanah. Kan tanah kalo dijual bisa jadi duit. Harta juga kan?”

“Iye sih”

“Nah, kalo menurut saya, pemikiran Pak Mahmud sudah sangat tepat. Dibandingin dengan harta, warisan yang paling berharga adalah ilmu. Dengan menuntut ilmu di universitas, diharapkan Bang Ahmad bukan hanya akan mendapat pekerjaan yang lebih baik tetapi juga wawasan dan koneksi yang luas. Dengan ilmu dan koneksi yang dimiliki, bukan tidak mungkin jika nanti Bang Ahmad punya usaha sendiri dan bikin lowongan pekerjaan untuk mengurangi jumlah pengangguran.”

“Kalo di pikir-pikir, bener juga kata-kata lu ki. Kalo gak salah ada pepatah ‘harta kalo disebar bisa abis, tapi ilmu kalo disebar gak abis-abis malah terus nambah’ iye gak ki?”

“Betul pak!”

“Buat rasa terima kasih, gue traktir lu makan bubur. Bang Rojak, bikinin satu lagi buat Si Riki. Biar tambah pinter die!”

“Oke bos! Pedes gak ki?”

“Sedeng aja.” Ujar Riki sambil tersenyum. Tidak disangka mendapat traktiran bubur gratis.

Pesanan satu porsi bubur ayam pun tiba. Tampak Riki langsung menyantapnya meski buburnya masih panas. Lihat saja, dengan teksturnya yang lembut dan rasanya yang gurih, siapa yang bisa menahan diri untuk tidak segera menyantapnya?. Apalagi bubur ayam Bang Rojak dilengkapi dengan suwiran ayam kampung yang diternak sendiri. Jelas menambah kelezatan rasa dan dijamin mutunya. Jelas Bang Rojak tersinggung bila ada yang menolak bubur ayamnya. Baginya bubur ayam bukanlah sekedar objek mata pencahariaannya, tetapi juga harga dirinya.

Pada saat asyik menyantap bubur ayam, datang  Muhlis dengan tergesa-gesa. Wajahnya pucat dan keringatnya mengucur deras.

“Mpok Zaenab mau melahirkan!!”
. . . .

Bersambung dulu ya ^^




2 komentar:

  1. tamam mbakat nulis!!

    aku terhanyut dalam ceritamu :D

    BalasHapus
  2. bang zia bakat ngomik!!

    makanya belajar berenang bang, hehehe

    BalasHapus