Jumat, 08 Juli 2011

Di Batas Horizon part 3 (habis)



 “Tapi . . Tapi mbak . .”

“Kalo dibilang gak bisa ya gak bisa! Jadi orang kok ngeyel amat si bapak!” Bentak si mbak resepsionis, sinis.

Bang Rojak lesu. Badan kekar kebanggaannya mendadak lemas tak bertenaga. Badannya limbung dan hampir terjatuh. Untung dia segera bertumpu pada tembok sehingga hanya lututnya yang keburu mencium lantai.

Lihatlah, wajah Bang Rojak yang biasa terlihat gagah dan penuh wibawa kini tampak  sedih memprihatinkan. Kata-kata sinis dari mbak resepsionis terdengar seperti vonis mati untuk Zaenab dan anak yang ada dalam perutnya. Seakan-akan, Zaenab sudah melakukan kejahatan yang teramat keji dan tidak berperikemanusiaan hingga dia tidak boleh menerima keadilan barang sedikit. Padahal Zaenab hanya butuh dibidani saat melahirkan, tidak lebih.


Entah kenapa di tengah keputus-asaannya, dalam sekejap Bang Rojak teringat sebuah percakapan ringan dengan adiknya beberapa waktu yang lalu.

“Liat nih bang, di dalem perut aye ada calon insinyur!” ujar Zaenab riang sambil mengelus perutnya. Waktu itu usia kehamilannya baru menginjak 5 bulan.

“Amiin dah, kalo punya ponakan insinyur kan gue juga ikutan bangga.” Sahut Bang Rojak yang sedang bermain catur dengan Zakariya. Biarpun hanya tukang bubur, jago juga rupanya Bang Rojak bermain catur.

“Anaknya insinyur? Siapa dulu dong bapaknya! Hahaha . .” Zakariya tertawa ringan di ikuti istri dan kakak iparnya. Dalam sekali jalan, kuda Zakariya melesat dan langsung menyekak raja Bang Rojak. Ternyata Zakariya lebih jago.

Sayangnya kebahagiaan dalam impian sederhana saat itu hanya tinggal kenangan. Jangankan mengecap pendidikan tinggi untuk menjadi seorang intelektual, bahkan anak tersebut sedang terjebak dalam kemungkinan untuk tidak pernah dilahirkan. Kemungkinan untuk tidak pernah mendapat kesempatan untuk menghirup udara di dunia yang penuh kepalsuan ini.

Air mata Bang Rojak menetes perlahan.

Sejenak kemudian, Riki dan Pak Mahmud yang geram maju menghadap resepsionis. Sekali gebrak, Pak Mahmud membanting uang sebesar Rp.2.500.000 yang baru diambilnya dari ATM.

MBAK, BARU KERJA GINI AJA GAK USAH NYOLOT YA, AMBIL NIH DUIT!! TERUS URUSIN ADEK TEMEN GUE PAKE PERALATAN YANG PALING CANGGIH, AWAS KALO SAMPE DIE KENAPE-NAPE!!” Ujar Pak Mahmud sengit.

Berkat didikan dari kakeknya yang pernah mengalami masa penjajahan, Pak Mahmud menjadi orang yang jujur dan berlaku adil. Benci sekali dia melihat kesewenang-wenangan terjadi di depan matanya.

“Kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, kami bisa saja menuntut mbak dan rumah sakit ini, kami punya buktinya.”

Riki memperlihatkan sebuah video pada mbak resepsionis. Sebuah video yang menggambarkan contoh hilangnya rasa kemanusiaan di muka bumi ini. Sebuah video bukti, betapa manusia saat ini lebih mementingkan harta duniawi dibanding jiwa saudaranya sendiri. Ya, Riki telah merekam adegan kepatuhan  si mbak resepsionis pada aturan kapitalis rumah sakit tersebut dengan telepon genggamnya.

Sontak resepsionis tersebut panik dan segera menyuruh petugas medis untuk menangani Zaenab di ruang terbaik. Sementara itu, wajah Bang Rojak mulai terlihat cerah penuh harapan. Setelah mengelap ingusnya, dia lantas memeluk Riki kencang-kencang. Tak berani dia memeluk Pak Mahmud yang masih garang mengomeli si resepsionis (dan beberapa pekerja di rumah sakit yang tidak beruntung ada di sekitar tempat kejadian).  Riki gelagapan lantaran tak kuat dipeluk oleh badan Bang Rojak yang perkasa dan bau keringat.

Setelah puas memarahi, Pak Mahmud segera melepas paksa Bang Rojak dari Riki, kasihan.

“Makasih pak, hampir aja saya jadi pasien rumah sakit nih, hehehe” Ucap Riki setengah bercanda.

Mereka lalu beranjak ke depan ruang bersalin untuk menunggu Zaenab melahirkan. Selagi menunggu, tampak Bang Rojak menelepon seseorang dengan suara pelan.

Waktu persalinan tidak berlangsung lama. Hanya dalam waktu kurang dari dua jam, Zaenab berhasil melahirkan anaknya dengan selamat. Dokter yang menangani kelahiran anak Zaenab segera keluar sesaat setelah kelahiran.

“Selamat, anaknya laki-laki. Eh, ayahnya yang mana ya?”

“Saya pamannya dok, anak yang barusan lahir itu yatim. Baru semalam babehnya meninggal.”

“Innalillahi wa inna ilahi rajiuun, saya turut berduka cita. Kalau begitu, silakan keluarganya masuk kedalam.”

Bang Rojak dan Pak Mahmud masuk ke ruang bersalin dan menemui Zaenab yang mandi peluh. Sementara Riki berdiri di ambang pintu.

“Bang, mau azanin anak aye gak?” ucap Zaenab lirih lantas tersenyum simpul. Bang Rojak pun melangkah mendekati keponakannya yang baru lahir tersebut.

Sekilas nampak aura kepemimpinan dari bayi itu, seperti ayahnya. Ya, semasa hidup Zakariya memang dikenal sebagai sosok yang mempunyai jiwa kepemimpinan tinggi. Tidak jarang dia memegang posisi ketua dalam berbagai kegiatan di komplek perumahan mulai dari acara pemotongan hewan Qurban hingga lomba tujuh belasan. Terkadang, figurnya yang gagah sering menjadi penengah dalam berbagai persoalan. Sayang, Zakariya telah tiada. Karena itulah Bang Rojak dan semua yang berada di ruangan tersebut menaruh harapan besar pada putranya agar mewarisi sifat-sifat ayahnya kelak.

Riki menatap bayi yang sedang diazani Bang Rojak dengan khidmat. Pikirannya mulai berimajinasi santai, mengawang-awang, terbayang hal yang sering membuatnya gelisah setiap malam.

“Seandainya aku dan Aliya . . . . “

“Permisi, boleh saya lewat?” Khayalan Riki mendadak hilang, setelah mendadak dikagetkan oleh ucapan seorang gadis yang datang secara-tiba-tiba.

Ya, posisi Riki yang tepat berada di ambang pintu memang menghalangi jalan keluar-masuk ruang bersalin. Menyadari posisinya yang mengganggu jalan, Riki segera berbalik dengan maksud keluar ruangan. Namun, betapa kagetnya dia. Gadis yang bermaksud memasuki ruang bersalin itu sudah tidak asing baginya. Dia lah penyebab segala kegelisahannya tiap malam. Dialah gadis yang selalu menghiasi angan-angan dalam benak pikirannya. Gadis yang membuat hari-hari di sekolahnya indah penuh warna. Gadis itu ternyata Aliya.

Tidak hanya Riki, Aliya pun terkejut dengan kehadiran Riki di rumah sakit. Muka manisnya langsung menunduk seketika, menahan senyum saat melihat wajah Riki yang terbengong melihat dirinya. Sedikit kelegaan menyelimuti hatinya. Saat di kelas pagi tadi, Aliya benar-benar sedih saat mendapat kabar bahwa Riki pindah ke tempat yang jauh dari sahabat sebangkunya. Dia tidak bisa membendung setitik air mata yang jatuh menetes ke lantai saat mendengar kabar tersebut. Seperti Riki, Aliya pun memendam perasaan yang sama. Karena itu dia senang sekali bertemu dengannya.

“Tadi aku dengar di kelas katanya kamu mau pindah ya? Kok ada di sini?” Aliya membuka keheningan. Tidak tega membiarkan Riki terbengong cukup lama.

“Iya, nanti sore. Eh, lo gak sekolah ya?”

“Sekolah kok. Tadi di telepon katanya kakakku kritis. Eh gak taunya malah punya keponakan nih, hehehe.”

“Tunggu dulu, kakak? Berarti Aliya adiknya Bang Rojak? Emang sih dulu Bang Rojak pernah cerita punya adek yang seumuran sama gue yang tinggal di rumah orangtuanya. Ternyata Aliya?”

“Eh, kok bengong lagi ki? Nanti kesambet dedemit lho, hehehe.”

Demi melihat senyum manisnya Aliya, Riki menjadi semakin salah tingkah. Pak Mahmud, Bang Rojak dan Zaenab yang melihat dari dalam hanya tersenyum geli, dasar anak muda!

“Eh, aku pulang dulu ya, belum beres-beres untuk pindahan nih” Riki melangkahkan kaki perlahan.

“Tunggu ki, aku boleh minta nomor handphonemu gak?”

“Boleh, eh kamu sudah punya handphone?”

“Iya, dibelikan Bu Hasanah, biar gampang komunikasi katanya.” Aliya tidak hanya cantik dan pintar, dia juga baik hati sehingga disayangi banyak orang termasuk Bu Hasanah, wali kelas yang menyayanginya melebihi anaknya sendiri.

Seusai bertukar nomor telepon, Aliya masuk ke ruang bersalin. Menemui kakak-kakak dan keponakannya yang lucu. Sedangkan Riki berlari keluar rumah sakit, euphorianya yang berlebihan membuatnya tak mengindahkan peraturan rumah sakit. Akibatnya? Dia diomeli petugas resepsionis yang tadi diancamnya dan diomeli habis-habisan oleh Pak Mahmud. Pembalasan dendam berakhir sudah.

Di ruang bersalin, Aliya sukses menjadi bahan olok-olokan Pak Mahmud dan kakak-kakaknya.

“Duilee, liat si Riki jak, saking girangnye ketemu adek lu sampe lupa pamit dia ama kite-kite, hahaha.”

“Iye nih, tapi gue sih gak ngapa dah punya adek ipar kayak Riki. Udeh ganteng, pinter, tajir pula. Setuju gak nab?”

“Udeh bang, jangan ledekin Aliya terus. Kesian tuh mukenye ampe merah gini.”

“Hahaha, nyantai aja ya! Kalo emang jodoh, kagak bakal kemana!” ucap Bang Rojak sambil menepuk pundak Aliya dengan semangat. Aliya hampir terjungkal. Lupa rupanya Bang Rojak dengan tenaganya yang kuat seperti gorila ragunan.

Sambil mengusap pundaknya yang nyeri, diam-diam Aliya tersenyum. Dari lubuk hatinya yang terdalam dia mengiyakan ucapan kakaknya kalo emang jodoh, kagak bakal kemana. Dipeluknya telepon genggam yang sudah berisi nomor telepon Riki erat-erat.

Sementara itu, setelah puas diomeli mbak resepsionis, Riki segera pulang dan membereskan barang keperluannya yang akan dibawa. Jarum jam tangannya sudah menunjukkan pukul satu siang. Masih ada dua jam lagi sampai keberangkatan bis menuju tempat tujuannya. Namun, agar tidak kehabisan tiket, dia segera berangkat menuju terminal.

Sepanjang perjalanan, Riki terus terbayang semua peristiwa hari ini. Mulai dari kepanikan di warung makan Bang Rojak hingga pertemuannya dengan Aliya yang tak terduga. Dia merasa Tuhan memang memiliki takdir yang istimewa untuknya.

Ya, jika dia mengetahui, takdirnya memang cukup istimewa. Konon di tanah tujuannya nanti dia akan bertemu dan mengubah takdir seorang gadis istimewa. Gadis cantik yang memesonakan hati banyak pemuda dan memiliki keteguhan hati sekuat karang yang tak mudah luluh diterjang ombak. Hanya ketulusannya yang berhasil mengubah pemikiran melenceng gadis tersebut dan membuatnya semakin memesona baik paras maupun hatinya. Gadis itu adalah Azalea.

Lantas bagaimana dengan Aliya?


2 komentar: