Minggu, 07 Agustus 2011

Hari Ini, 10 Tahun Kemudian

Belalang kayu yang berwarna kecoklatan dan berukuran agak besar itu memasang kondisi siaga penuh. Tak jauh darinya, Damar sudah memasang kuda-kuda siap menangkap si belalang lagi. Lagi? Ya, sedari tadi bocah itu seakan tak kenal kata menyerah dalam memburu si belalang meski seringkali terjatuh dan terjerembab di semak-semak dalam usaha menangkapnya.

Jika diperhatikan dengan lebih seksama, belalang itu memang nampak istimewa. Postur tubuhnya yang lebih besar dan warna tubuhnya yang bercorak kecoklatan itu membuatnya terlihat seperti belalang paling gagah. Apalagi, bentuk wajah si belalang persis seperti pahlawan fiksi yang sangat disukai dan ditonton oleh bocah itu saban sore, membuatnya makin gencar diburu tak peduli akibatnya.


“Horee, dapat!!!!”

Naas, setelah berkali-kali berhasil berkelit, akhirnya si belalang berhasil tertangkap oleh bocah itu. Setelah tertangkap, si belalang lantas dibawa pergi menuju teman-teman sepermainannya yang berada tidak jauh dari sana.

“Lihat nih, aku dapet belalangnya ksatria baja hitam! Keren banget kan!?” Ujarnya kegirangan sambil mengacungkan belalang kebanggaannya ke hadapan anak-anak yang lain.

“Ah, baru gitu doang. Lihat punyaku, cangcorang kobra!! Sahut Aji tak mau kalah. Belalang sembah atau yang lebih sering disebut dikalangan anak-anak itu sebagai cangcorang, meliuk-liukan badannya seperti ular kobra yang siap menerjang mangsa di telapak tangannya. Tiba-tiba, belalang sembah itu mencapit jempol Aji.

“Aduuh . . !”

Sontak anak-anak lain tertawa. Menyadari ada kesempatan, belalang sembah itu langsung melarikan diri. Terbang sekencang-kencangnya menembus pelosok tetumbuhan. Melihat serangga tangkapannya kabur, Aji lantas misuh-misuh.

“Semuanya gak ada apa-apanya dibanding punya gue! Nih!!” Semua anak yang berada di situ serta-merta langsung mengarahkan pandangnya ke tangan Bang Fajar.

Kumbang tanduk! Serangga paling eksotis di antara para serangga yang dapat ditangkap oleh anak-anak itu berada di genggaman Bang Fajar. Punggungnya yang elok dan berwarna hitam mengkilat-kilat  dipadu dengan tanduknya yang besar bak mahkota raja di antara para raja membuat anak-anak lain langsung bengong. Terkagum-kagum memandangi primadona dunia serangga dalam genggaman Bang Fajar. Sebagian dari mereka langsung menyembunyikan hasil tangkapannya yang termasuk golongan ‘biasa’.

Wajar bila anak-anak tersebut bertingkah norak saat melihat kumbang tanduk, populasi kumbang tanduk memang paling sedikit dibanding serangga lainnya seperti belalang atau capung. Dalam sebulan terakhir ini saja, mereka hanya berhasil menangkap tiga ekor kumbang tanduk. Itu pun kesemuanya ditangkap oleh Bang Fajar, yang berusia paling tua dan menjadi pemimpin di antara mereka.

Siang semakin terik, perburuan serangga di akhir pekan ini segera ditutup dengan bubarnya mereka menuju rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, sebagian besar dari mereka lantas terjun bebas ke arah kasur demi melarikan diri dari hawa panas yang mengancam untuk tidur siang dan ngorok dengan pulasnya. Ada pula yang lantas minum es  sirup sebanyak-banyaknya (yang mengakibatkan murka ibunya pada saat ketahuan). Banyak pula yang masih mengagum-agumi keindahan rupa serangga yang baru di tangkap.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Terik mulai kehilangan keperkasaannya meski matahari masih berusaha mempertahankan eksistensinya di angkasa. Angin sepoi-sepoi hilir mudik, menggelitik kuduk Adi yang masih bergelimpangan karena panas siang tadi. Usaha angin sepoi-sepoi tidak sia-sia, dia mulai mengerjapkan mata, perlahan. Berusaha untuk bangun, membebaskan diri dari kungkungan kasur empuk yang melenakan. Namun apa daya, rupanya pesona kenyamanan kasur telah mengalahkan kewajibannya untuk pergi mengaji ke TPA (Taman Pendidikan Alquran) di surau yang tidak jauh dari rumahnya. Beruntung bala bantuan telah datang, sang Ibu lengkap dengan senjata andalan bagi anak yang malas bangun, kemoceng.

“Adi, ayo bangun, waktunya pergi ke TPA!!”

Meski badannya sudah diguncang beberapa kali, Adi tidak kunjung beranjak dari peraduan. Malah tidurnya tambah nyenyak seperti bayi yang diayun-ayun. Dengan terpaksa, akhirnya Ibu mengeluarkan kemocengnya dan memukulkannya ke kaki Adi dengan pukulan yang sedikit kencang.

CEPREET!!!

“Ayo bangun!!”

“Aduh, iya bu, Adi bangun!”

Adi langsung lari tunggang langgang ke kamar mandi untuk menghilangkan bekas-bekas pergumulannya di atas tempat tidur lantas bersalin pakaian dan siap berangkat menuju TPA.

“Nah gitu dong, kan sekarang Adi jadinya lebih ganteng.” Sambut Ibunya di ambang pintu rumah, tersenyum. Adi segera menghampiri Ibunya untuk berpamitan. Ibu mengulurkan tangannya untuk dicium Adi, lalu memberi uang saku seadanya.

“Nih, buat jajan.” Senyum Adi mengembang. Yah, anak mana yang tidak senang bila diberi uang jajan?.

Dalam sekejap, Adi segera berlari ke arah teman-temannya yang juga akan berangkat ke TPA.

. . . . .

10 tahun berlalu semenjak aku meninggalkan tanah airku untuk belajar di negeri seberang. Tak sabar rasanya untuk segera sampai ke bandara lantas kembali ke kota kelahiran yang kurindukan. Kira-kira tempatnya sudah seperti apa ya? Apakah tempatnya sudah banyak berubah? Bagaimana dengan kebun luas tempatku dan teman-teman berburu serangga? Bagaimana dengan surau tempatku dan kawan-kawan belajar mengaji? Waah, rasanya sudah tidak sabar rasanya.

Tak butuh waktu lama setelah aku sampai di bandara, dengan taksi, aku segera meluncur menuju rumah. Mudah-mudahan semua baik-baik saja, batinku pelan.

Aku turun di depan jalan. Sengaja aku tidak turun tepat di depan halaman rumah karena ingin berjalan sebentar demi menikmati suasana yang lama tak kurasakan. 10 meter. 20 meter. Hmm, bukankah seharusnya di seberang sana ada kebun luas yang rimbun tempatku dulu berburu serangga? Sejak kapan kebunnya menghilang berganti dengan banyak bebangunan?

Puluhan bangunan kecil itu berdiri semrawut tak teratur. Jelas sekali kalau tidak ada satu pun arsitek atau ahli tata kota yang terlibat di sana. Lihatlah, puluhan kontrakan, konveksi, warung-warung, hingga bengkel berdiri dengan tidak mengindahkan jalan umum. Sempit sekali jalan yang tersedia sebagai tempat melintas, sepintas terbayang di benakku wajah tamak pemilik kompleks ini. Sejak masih berbentuk kebun, dia memang orang yang terkenal pelit. Jalan kecil di kompleks yang berdempet-dempet itu penuh sesak dengan orang-orang dari berbagai macam daerah, terlihat jelas dari logat dan bahasanya.

Tidak hanya sempit dan semrawut, bahkan pembangunan di atas kebun luas ini tidak memedulikan daerah resapan air! Hampir tidak ada secuil pun tanah kosong yang ditanami tumbuh-tumbuhan sekedar untuk meresap air hujan yang tumpah dari langit. Bahkan saluran airnya menggenang, tidak mengalir karena terhambat oleh sampah-sampah dari banyak tangan usil yang bertebaran. Kubayangkan bahwa banjir adalah tamu yang sering bertandang kemari tiap tahunnya.

Tiba-tiba.

WUUSS . . BYUUR!!.

Ulah anak kecil yang melempar sampah bekas minuman, yang masih berisi banyak es batu, ke selokan membuyarkan lamunanku. Dengan tampang seakan tak bersalah, anak itu membuka bungkus permen dan, lagi-lagi, membuang seenaknya di jalanan.

“Dek, kalo buang sampah jangan sembarangan dong!” ucapku ke arah anak itu sembari menahan emosi. Bibirku kupaksa tersenyum, kepalan tanganku yang mengeras kumasukkan kantong jaket. Sengaja, agar emosiku tidak nampak terlihat.

“Ngapain lu ngatur-ngatur? Emang ini jalanan punya lu . . !?”

Astaga, baru kali ini kulihat ada anak yang sedemikian kurang ajarnya pada orang yang lebih tua. Semasa kecil, rasa-rasanya aku dan kawan-kawanku tidak pernah bersikap seburuk itu. Belum sempat aku menasihati anak itu, tiba-tiba suara teriakan muncul menggelegar dari arah belakangku.

“NGAPAIN LU SOK NGURUS ANAK GUE? MAU BELAGAK LU DISINI!?”

Muncul seorang wanita paruh baya yang berbadan agak gempal. Matanya melotot, mukanya memerah, tangannya terlipat di depan dada. Tampaknya dia adalah Ibu dari bocah yang hendak kunasehati. Aneh, anaknya jelas-jelas berbuat salah kok malah dibela? Bentuk pendidikan pada anak macam apa pula ini?

Perlahan aku menjauh. Tak ada gunanya meladeni orang dewasa berpikiran kolot. Lebih baik segera pulang ke rumah dan beristirahat. Belum lima meter kakiku melangkah, kembali kudengar gelak tawa ibu dan anak kurang ajar itu.

“Hahahaha, cowok apaan tuh? Baru digertak dikit, nyalinya ciut!”
“Jangan-jangan banci ye!? Hahahaa!!”

Dalam sekejap telingaku memanas. Untung saja aku lebih memilih diam. Bila kuladeni akan panjang urusannya. Apalagi di wilayah ini jelas mereka lebih dikenal sehingga otomatis orang-orang akan lebih memihak mereka, padahal aku orang asli sini dan mereka pendatang.

Beberapa puluh meter kemudian, tampak surau tempatku dulu belajar mengaji bersama kawan-kawan. Surau itu masih sama seperti dulu. Selalu nampak sederhana, namun bersih dan terawat baik. Dalam sekejap rasa rinduku buncah, perlahan kudekati surau itu, tempat banyak terukir kenang dan asa sepanjang masa.

Sepi, tidak ada aktifitas apa pun terlihat di surau ini. Aneh sekali, bukankah dahulu, sore ini waktunya anak-anak mengaji? Ku langkahkan kaki ini ke dalam surau lantas memindai sekeliling demi mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menggejolak hati ini. Padahal jumlah penduduk bertambah banyak, mengapa surau begitu sepi? Atau jadwal mengaji sudah pindah di lain waktu? Ataukah . . . ah, pokoknya aku harus mendapat jawaban hari ini juga!

Seseorang menjawil pundakku.

“Eh, udah lama gak keliatan, kemana aja?”

Rupanya Bang Tohari, pengurus surau. Sosok yang tidak asing bagi anak-anak yang pernah belajar mengaji di surau ini.

“Abis sekolah di luar bang, hehehe. Oiya, kok sepi amat ya? Emang jadwal TPA diganti bang?”

Mendengar pertanyaanku, Bang Tohari mendadak lesu. Apa ada yang salah?

“Udah gak ada yang mau ngaji lagi. Jaman sekarang orang-orang lebih mentingin belajar matematika sama bahasa Inggris.”

Astaga, benar-benar sungguh keterlaluan! Apa yang ada di pikiran orang-orang saat ini? Apakah sudah hilang keimanan dalam lubuk hati? Memang, belajar matematika dan bahasa Inggris itu penting, tapi hanya selama kita hidup di dunia bukan?  Sedangkan kita tidak akan hidup selama-lamanya di dunia. Ada masa dimana kita akan membutuhkan sesuatu yang hanya bisa didapatkan dari mengaji di surau.

Sepintas terlihat setitik air menggenang di sudut mata Bang Tohari.

Apa yang bisa kulakukan?

2 komentar: