Jumat, 03 Juni 2011

Curahan Hati Si Anak Betawi

Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang-orang berbicara menggunakan bahasa Jawa adalah hal yang wajar. Di wilayah Jawa Barat, orang-orang berbicara menggunakan bahasa sunda juga hal yang sangat normal. Sebutan mas dan mbak kepada orang yang sedikit lebih tua di Jawa Tengah dan Timur maupun sebutan akang dan teteh di Jawa Barat pun sama sekali tidak terdengar aneh.

Namun sayangnya, hal tersebut tidak berlaku di Jakarta, ibukota Negara Indonesia tercinta ini, daerah asal orang-orang Betawi. Masihkah terdengar orang-orang berbicara dalam bahasa Betawi (mungkin lebih tepat disebut dialek) di kota Jakarta?. Di segelintir tempat mungkin masih ada. Itu pun terpinggirkan. Seperti
Bekasi, Tangerang dan wilayah pinggiran lainnya (memang masih ada wilayah orang-orang betawi di dalam kota Jakarta seperti Rawabelong, namun jumlahnya sangat sedikit). Selain itu, sebutan abang, mpok, n’cang, n’cing, dll pun sudah jarang terdengar kecuali di wilayah-wilayah tersebut.

Di kota Jakarta, dialek Jakarta dan kata ganti orang seperti ‘abang’ perlahan-lahan mengalami penurunan makna yang cukup tragis. Orang-orang yang berbicara menggunakan dialek Jakarta dianggap norak, kampungan, atau yang lebih parah dianggap sebagai orang yang tidak berpendidikan. Begitu pula panggilan ‘abang’, kata yang pada asalnya berarti ‘orang yang dihormati karena lebih tua’ menjadi panggilan khas untuk orang-orang yang dianggap memiliki pekerjaan rendahan seperti supir angkot, tukang gorengan, dll.

Ironisnya, orang-orang Betawi bagaikan kerbau dicucuk hidung dalam menanggapi masalah ini. Banyak sekali diantara mereka yang tinggal di wilayah perkotaan ikut termakan pemikiran-pemikiran aneh ‘yang entah darimana munculnya’ ini. Mereka malu mengakui dan bangga dengan identitasnya sebagai orang Betawi. Kata ganti panggilan seperti abang, mpok, n’cang, n’cing, babe dan emak diganti menjadi kakak, paman, tante, papa, dan mama yang terdengar lebih modern. Selain itu, mereka pun menghapus dialek Jakarta dari lidahnya masing-masing karena tidak mau dianggap kasar atau kampungan. Padahal jika dilihat dari makna tiap padanan katanya biasa saja. Sama sekali tidak terlihat kasar. Misalnya, seperti ungkapan ‘bujug buset’ yang menurut padanan bahasa inggris berarti ‘fantastic’ (istilah untuk mengungkapkan kekaguman terhadap sesuatu yang dianggap menarik).

Padahal, dialek Jakarta sempat mengalami masa keemasan era tahun 1960-1990an yang dipelopori oleh Benyamin Sueb, Seniman serba bisa. Julukan itu tidak main-main, hingga saat ini, belum ada seorang pun yang dapat berakting, melawak, bernyanyi, bermain alat musik hingga menggubah berbagai macam lagu sepiawai beliau. Pada masa itu, orang-orang Betawi merasa terbebaskan. Tidak ada perasaan rendah diri pada mereka yang menggunakan dialek Jakarta. Bahkan, dialek Jakarta mulai dikenal dan dipakai diseluruh penjuru negeri. Namun, ketenaran dialek Jakarta mulai surut seiring waktu kematian Sang seniman serba bisa. Perlahan, dialek Jakarta ditinggalkan karena dianggap kampungan dan tidak memenuhi standar masyarakat modern hingga sekarang.

Oleh karena itu, kita sebagai anak-anak Betawi yang sempat mengecap bangku pendidikan tinggi sepatutnya menghidupkan kembali identitas kebudayaan Betawi yang nyaris punah dimakan arus globalisasi yang kian dahsyat. Tidak perlu ada alasan malu untuk menghidupkan kembali kebudayaan Betawi lewat dialek Jakarta dalam pergaulan dan aneka kebudayaan lainnya. Jika kita malu bila dipandang rendah oleh orang-orang yang menganggap dirinya modern, justru sepatutnya kita malu jika identitas kebudayaan kita sebagai orang Betawi telah lenyap. Sebaiknya kita banyak merenung, sebenarnya dimanakah standar ‘rendah’ bagi suatu masyarakat?. Apakah orang yang berbudaya patut disebut orang rendahan?. Bukankah mereka yang membuang identitas kebudayaannya sedemikian rupa yang lebih pantas disebut rendahan?.

Mari kita bangkitkan kembali semangat berbudaya kita!

8 komentar:

  1. bener! kalo bukan kite, siape lagi?

    BalasHapus
  2. wah, ade mpok zara . .
    makasih dah mampir mpok . .
    hehehe

    BalasHapus
  3. wah, nice note, n'cang Tamam...

    :D

    BalasHapus
  4. ikut gabung komen yak.. iyah kalo menurut saya, kalo bukan orang betawinya siapa lagi yang akan menjaga budayanya.. saya tinggal di depok kan aslinya orang-orang betawi yah tapi belum pernah saya mendengar kata mpok dari anak-anak kecil manggil kaka perempuannya.. kenapa perempuan betawi tidak bangga dengan sapaan mpok sih.. lebih banyak yang manggil kaka ma abang.. hmm.. btw Benyamin Sueb emang TOP BGT

    BalasHapus
  5. setuju, silakan gabung.
    orang betawi cuman dikit, kalo orang betawinya yang udah dikit gitu gak bangga ama budayanya, bisa2 punah deh identitas kite . . .

    BalasHapus
  6. Hai Bang Tanfidz...
    artikelnya bagus loh yah..
    I like to read it

    BalasHapus
  7. curahan hati anak betawi..bagus sekali.
    menyadarkan banyak sekali panggilan yang mengalami penurunan makna..iya kan, Bang,

    BalasHapus