Ada
yang pernah membaca komik? Rasa-rasanya agak mustahil jika saat ini masih ada
orang yang belum pernah sekalipun membaca bacaan tersebut. Kecuali orang yang
masih buta huruf atau buta beneran tentunya, hehehe. Komik atau yang pernah populer
dengan istilah cergam sangat mudah untuk ditemukan dimana-mana. Baik komik
dalam bentuk satu buku utuh maupun bagian dari majalah, contoh dalam buku
pelajaran, spanduk, poster, leaflet,
komik online dan lain-lain. Bahkan saya pernah mendengar ada orang yang
mendesain undangan pernikahannya dalam bentuk komik. Mungkin tidak berlebihan
jika saya berpendapat jika komik sudah menjadi bagian dari budaya populer yang
memasyarakat secara universal bukan?
Rindu
rasanya saat mengingat masa pertama kali mengenal komik. Tidak terasa sudah
hampir 15 tahun saya mengenal dan amat menggemari bacaan tersebut. Komik yang
pertama kali saya baca adalah Kungfu Boy. Saya lupa jilid keberapa, tapi momen
yang paling berkesan dalam komik tersebut adalah sewaktu Chinmi belajar jurus
satu jari dan klimaksnya, dia harus bertarung menghadapi beruang ganas yang
mengancam jiwa penduduk desa. Komik tersebut dibelikan oleh Ibu saya di toko
buku sepulang menjemput saya dari Taman Kanak-kanak. Sejak dulu, Ibu saya
sangat menegaskan pentingnya menanam minat membaca sejak kecil. Semenjak remaja
ia memang hobi membaca. Khususnya novel-novel karya Enid Blyton. Akhirnya hobi
membaca itu diturunkan dengan membelikan anaknya buku paling sedikit dua minggu
sekali sewaktu saya masih kanak-kanak. Buku yang dibelikan amat beragam. Mulai
dari buku mengenai hewan, cerita anak-anak, dan yang paling utama adalah komik.
Saya sih senang-senang saja dibelikan banyak buku, toh wawasan saya jadi
semakin luas, hehehe.
Pertemuan
saya dengan komik lokal sudah dimulai semenjak SD. Komik lokal yang pertama
kali saya baca adalah cergam Petruk dan Gareng yang dijual murah di depan
sekolah dasar tempat saya menuntut ilmu. Saya tidak tahu apakah komik tersebut
beredar luas di Indonesia, tapi komik itu cukup terkenal di wilayah Jakarta dan
sekitarnya. Sayangnya, komik yang memuat tokoh punokawan karya Kanjeng Sunan
Kalijaga tersebut tidak dibuat sebagai komik yang penuh muatan nilai yang
bermanfaat. Tetapi justru sebagai komik yang berbau mistis dengan gambar-gambar
makhluk halus yang mengerikan, wanita-wanita seksi, dan jalan cerita yang
cenderung monoton dan tidak berbobot. Jelas itu bukan bacaan yang baik bagi
anak-anak. Saat itu, Ayah saya adalah orang yang paling berang dan melarang keras
saya untuk membacanya. Namun, entah mengapa dulu saya justru malah menggemari
komik tersebut dan senantiasa berusaha mengakali peraturan yang dibuat oleh
Ayah.
Walau
bagaimana pun cara saya untuk berkelit dari aturan Ayah, tetap saja ketahuan
kalau saya telah melanggarnya. Namun, Ayah saya adalah orang yang bijaksana. Ia
tidak lantas hanya menghukum secara keras, tetapi olehnya, saya pun dicarikan
bacaan subsitusi yang lebih baik. Kaget sekali rasanya saat Ayah membelikan
sebuah komik berjudul “Sindbad, Terjebak di Lembah Permata” sepulangnya bekerja.
Karena Ayah adalah seorang muslim yang taat, tidak aneh jika ia menginginkan
baik dari segi pendidikan maupun hiburan anak-anaknya tidak boleh luput dari
nilai-nilai agama. Ya, komik Sindbad yang saya baca saat itu adalah komik religi
yang menceritakan petualangan seorang pelaut bernama Sindbad yang doyan makan
lalap dan ditemani oleh sahabat setianya, Kird, seekor monyet cerewet yang
entah kenapa senang melahap ikan. Selain terhibur oleh aksi kocaknya, banyak
sekali nilai agama yang bisa kita ambil dari komik tersebut. Misalnya untuk
tidak lupa mengucapkan basmallah setiap
akan memulai aktivitas, meski aktivitas itu adalah melawan raksasa ganas
berambut cepak yang mengaku sebagai cover
boy. Berkat Sindbad, perlahan saya mulai meninggalkan cergam Petruk dan
Gareng yang amat dibenci oleh Ayah.
Selain
Sindbad, Ayah pun turut membelikan komik seri 1001 malam lain secara berkala.
Semakin senang rasanya melihat koleksi komik lokal bermutu saya makin bertambah
banyak. Alladin, Abu Nawas, Ali Baba, dan Qamaruzzaman yang tidak kalah kocak pun
menambah daftar bacaan komik saya menjadi semakin beragam. Ya, selain komik
lokal, saya masih suka dibelikan dan membaca komik luar seperti Donal Bebek,
Dragon Ball, dan pastinya Kungfu Boy. Tetapi sebagus apapun komik luar,
perasaan saya sewaktu membacanya tidak menggebu-gebu seperti saat saya membaca
Sindbad dan seri 1001 malam lainnya.
Waktu
itu, saya merasa ada sesuatu yang membuat saya ingin seperti mereka yang
membuat komik seri 1001 malam tersebut. Perasaan ingin dapat membuat orang lain
tersenyum dan terinspirasi sama seperti yang saya rasakan saat membaca karya
mereka. Mungkin karena adanya kedekatan kultur dalam cerita komik lokal yang
lebih mudah dimengerti pembaca Indonesia dibandingkan dengan komik luar.
Semakin lama, perasaan itu semakin menggebu-gebu dalam dada. Ya, saya sangat
ingin segera membuat komik!
. . . . . . . .
.
Faktor ayah ibu memang penting ya...
BalasHapusBabe yg suka beliin buku tiap ke luat kota...
Ummi yang prnah marah gara2 sya bca bkunya hamsad rangkuti...