Selasa, 18 Desember 2012

Catatan Perjalanan Pertama : Pertemuan


Ada yang pernah membaca komik? Rasa-rasanya agak mustahil jika saat ini masih ada orang yang belum pernah sekalipun membaca bacaan tersebut. Kecuali orang yang masih buta huruf atau buta beneran tentunya, hehehe. Komik atau yang pernah populer dengan istilah cergam sangat mudah untuk ditemukan dimana-mana. Baik komik dalam bentuk satu buku utuh maupun bagian dari majalah, contoh dalam buku pelajaran, spanduk,  poster, leaflet, komik online dan lain-lain. Bahkan saya pernah mendengar ada orang yang mendesain undangan pernikahannya dalam bentuk komik. Mungkin tidak berlebihan jika saya berpendapat jika komik sudah menjadi bagian dari budaya populer yang memasyarakat secara universal bukan?


Rindu rasanya saat mengingat masa pertama kali mengenal komik. Tidak terasa sudah hampir 15 tahun saya mengenal dan amat menggemari bacaan tersebut. Komik yang pertama kali saya baca adalah Kungfu Boy. Saya lupa jilid keberapa, tapi momen yang paling berkesan dalam komik tersebut adalah sewaktu Chinmi belajar jurus satu jari dan klimaksnya, dia harus bertarung menghadapi beruang ganas yang mengancam jiwa penduduk desa. Komik tersebut dibelikan oleh Ibu saya di toko buku sepulang menjemput saya dari Taman Kanak-kanak. Sejak dulu, Ibu saya sangat menegaskan pentingnya menanam minat membaca sejak kecil. Semenjak remaja ia memang hobi membaca. Khususnya novel-novel karya Enid Blyton. Akhirnya hobi membaca itu diturunkan dengan membelikan anaknya buku paling sedikit dua minggu sekali sewaktu saya masih kanak-kanak. Buku yang dibelikan amat beragam. Mulai dari buku mengenai hewan, cerita anak-anak, dan yang paling utama adalah komik. Saya sih senang-senang saja dibelikan banyak buku, toh wawasan saya jadi semakin luas, hehehe.

Pertemuan saya dengan komik lokal sudah dimulai semenjak SD. Komik lokal yang pertama kali saya baca adalah cergam Petruk dan Gareng yang dijual murah di depan sekolah dasar tempat saya menuntut ilmu. Saya tidak tahu apakah komik tersebut beredar luas di Indonesia, tapi komik itu cukup terkenal di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sayangnya, komik yang memuat tokoh punokawan karya Kanjeng Sunan Kalijaga tersebut tidak dibuat sebagai komik yang penuh muatan nilai yang bermanfaat. Tetapi justru sebagai komik yang berbau mistis dengan gambar-gambar makhluk halus yang mengerikan, wanita-wanita seksi, dan jalan cerita yang cenderung monoton dan tidak berbobot. Jelas itu bukan bacaan yang baik bagi anak-anak. Saat itu, Ayah saya adalah orang yang paling berang dan melarang keras saya untuk membacanya. Namun, entah mengapa dulu saya justru malah menggemari komik tersebut dan senantiasa berusaha mengakali peraturan yang dibuat oleh Ayah.

Walau bagaimana pun cara saya untuk berkelit dari aturan Ayah, tetap saja ketahuan kalau saya telah melanggarnya. Namun, Ayah saya adalah orang yang bijaksana. Ia tidak lantas hanya menghukum secara keras, tetapi olehnya, saya pun dicarikan bacaan subsitusi yang lebih baik. Kaget sekali rasanya saat Ayah membelikan sebuah komik berjudul “Sindbad, Terjebak di Lembah Permata” sepulangnya bekerja. Karena Ayah adalah seorang muslim yang taat, tidak aneh jika ia menginginkan baik dari segi pendidikan maupun hiburan anak-anaknya tidak boleh luput dari nilai-nilai agama. Ya, komik Sindbad yang saya baca saat itu adalah komik religi yang menceritakan petualangan seorang pelaut bernama Sindbad yang doyan makan lalap dan ditemani oleh sahabat setianya, Kird, seekor monyet cerewet yang entah kenapa senang melahap ikan. Selain terhibur oleh aksi kocaknya, banyak sekali nilai agama yang bisa kita ambil dari komik tersebut. Misalnya untuk tidak lupa mengucapkan basmallah setiap akan memulai aktivitas, meski aktivitas itu adalah melawan raksasa ganas berambut cepak yang mengaku sebagai cover boy. Berkat Sindbad, perlahan saya mulai meninggalkan cergam Petruk dan Gareng yang amat dibenci oleh Ayah.

Selain Sindbad, Ayah pun turut membelikan komik seri 1001 malam lain secara berkala. Semakin senang rasanya melihat koleksi komik lokal bermutu saya makin bertambah banyak. Alladin, Abu Nawas, Ali Baba, dan Qamaruzzaman yang tidak kalah kocak pun menambah daftar bacaan komik saya menjadi semakin beragam. Ya, selain komik lokal, saya masih suka dibelikan dan membaca komik luar seperti Donal Bebek, Dragon Ball, dan pastinya Kungfu Boy. Tetapi sebagus apapun komik luar, perasaan saya sewaktu membacanya tidak menggebu-gebu seperti saat saya membaca Sindbad dan seri 1001 malam lainnya.

Waktu itu, saya merasa ada sesuatu yang membuat saya ingin seperti mereka yang membuat komik seri 1001 malam tersebut. Perasaan ingin dapat membuat orang lain tersenyum dan terinspirasi sama seperti yang saya rasakan saat membaca karya mereka. Mungkin karena adanya kedekatan kultur dalam cerita komik lokal yang lebih mudah dimengerti pembaca Indonesia dibandingkan dengan komik luar. Semakin lama, perasaan itu semakin menggebu-gebu dalam dada. Ya, saya sangat ingin segera membuat komik!
. . . . . . . . .

1 komentar:

  1. Faktor ayah ibu memang penting ya...
    Babe yg suka beliin buku tiap ke luat kota...
    Ummi yang prnah marah gara2 sya bca bkunya hamsad rangkuti...

    BalasHapus