Jumat, 28 September 2012

Nenek di Bus Siang Tadi (update)


“Hei Tong, sini duduk di belakang, ntar pegel lu bediri!”
Suara Nenek yang cukup kencang itu membahana seantero dalam bus hingga mengagetkan penumpang lain. Melihat dirinya yang menatap tegas ke arahku, sepertinya aku tak punya pilihan lain.  
“Kalo gak dituruti entar malah marah lagi, hihihi.” Ujarku dalam hati. Aku pun menyambut perintahnya sesegera mungkin.
“Udah pulang sekolah?” Tanyanya saat aku sudah duduk di sebelahku.
“Bukan nek, saya udah kuliah.”
Aku tersenyum. Tiba-tiba muncul sedikit rasa narsis. Ternyata tampangku dianggap seperti masih anak sekolah, hehehe. Yah, mungkin saja tampang anak sekolahan semasa Nenek itu muda tampangnya ya model begini.
“Kuliah dimana?”
“Di UGM Jogja nek, lagi liburan makanya pulang.”
“Pulang? Lu orang Jakarta apa Betawi?”
Jakarta atau Betawi? Terdengar seperti pertanyaan lama yang menjebak. Karena melihat atributnya yang sederhana, sontak aku menjawab tanpa berpikir panjang.
“Betawi, nek”
“Apa, betawi!? bukan Betawi tong, Betawi itu asalnya dari Batavia, orang Belanda yang bikin! Yang bener itu Jakarta asalnya dari Jaya ing karta, dari kesultanan Banten. Pelajaran saya waktu masih SMP tuh, masih nenek inget. Makanya, jangan lupain sejarah, belajar dari sejarah!”
Aku kaget mendengar jawaban si nenek. Aku pernah mendengar kata-kata yang sama seperti itu dalam film Sang Murabbi. Film yang mengisahkan tentang Alm. Ust. Rahmat Abdullah, seorang ulama kharismatik dari Jakarta. Seketika, takjub dan malu bercampur menjadi satu. Dibalik penampilannya yang sederhana, ternyata terdapat kebijaksanaan dan wawasan yang luar biasa dalam diri Si Nenek. Jarang sekali saya menemui orang seperti ini.
“Oiya, bener juga Nenek, hehehe.”
“Kuliah jurusan apaan lu tong?”
DEGG . . 
Mendadak agak kelu rasanya menjawab pertanyaan si nenek. Bagaimana tidak? Aku kuliah di jurusan yang mempelajari bahasa dan budaya Jepang. Negara yang terkenal akan kekejamannya pada masa perang dunia II di hampir seluruh wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebuah fakta yang memilukan, bahwa negara yang dulu menjajah negeri ini dengan amat kejam lewat sistem romusha dan jugun ianfu, kini justru amat digemari budaya popnya oleh anak muda negeri ini.
“Di Fakultas Ilmu Budaya, nek. Belajar mengenai budaya termasuk sejarah juga, hehehe.”
Dalam hati, aku merasa tidak enak. Tidak bohong sih, tapi rasanya ada hal yang mengganjal dalam hati.
“Wah, bagus tuh. Inget, tong. Jangan pernah malu ama budaya dan sejarah negara  sendiri. Saya nih, gini-gini biar kata aslinya orang Jawa, tapi kelahiran Jakarta. Jadi udah cinta banget ama Jakarta.”
Setelah itu, si nenek menceritakan bagaimana dia amat mencintai Jakarta dan keragaman budayanya. Beliau amat prihatin dengan kondisi generasi muda saat ini yang lebih menyenangi budaya pop dibanding budaya tradisional daerahnya sendiri. Anak-anak muda Jakarta saat ini jauh lebih mengenal lagu-lagu band daripada Jali-Jali atau Keroncong Kemayoran, lebih menggemari artis film maupun boyband zaman sekarang dibanding seniman asli Jakarta seperti Benyamin Suaeb, sang seniman serba-bisa.
Tidak hanya pada generasi muda, beliau juga miris dengan pemerintah negeri ini yang menurutnya kurang cakap mengapresiasi karya anak bangsa. Beliau mengambil contoh lagu Bengawan Solo karya Alm. Gesang yang sangat populer hingga ke negeri matahari terbit. Bangsa Jepang, yang meski dulu sempat menoreh tinta hitam dalam sejarah Indonesia, ternyata sangat menyenangi, menggemari dan mengapresiasi lagu tersebut dengan amat baik.  Bahkan, orang-orang Jepang sampai membuat taman yang didedikasikan khusus kepada sang seniman. Indonesia? Sebelum ada apresiasi dari Jepang, tidak terdengar tindak-tanduknya dalam usaha melestarikan karya seni tersebut.
Kesimpulan yang saya ambil dari obrolan saya dengan si nenek mengenai kesadaran budaya dan sejarah cukup sederhana. Bagi saya, tidak mengapa menggemari budaya pop lokal maupun mancanegara seperti Jepang, Korea, atau negara-negara Barat. Namun yang terpenting adalah jangan sampai kehilangan identitas budaya bangsa sendiri. Indonesia adalah negara dengan tingkat multikultural tertinggi yang menjadi kebanggaan dan mengundang decak kagum bangsa lain terhadap Indonesia di dunia Internasional. Jika generasi muda bangsa ini mulai melupakan sejarah dan budayanya, apalagi yang bisa dibanggakan dari negeri ini?
Kami melanjutkan  pembicaraan. Entah mengapa, rasa-rasanya topik perbincangan ini semakin berat.
“Dari lahir tahun 1947, ampe sekarang bingung rasanya liat buku sejarah banyak yang gak sesuai sama kenyataan.”
“Nenek lahir tahun 1947? Berarti Nenek  sempet ngalamin kejadian 30 September PKI?”
“Iya,  waktu itu saya gak di Jakarta, tapi di Madiun. Bener-bener serem situasi pas jaman itu.”
“Serem gimana nek?”
“Banyak mayat yang ngambang di kali, tapi gak ada yang berani nolongin gara-gara takut di cap PKI. Saya yang lewat ama penduduk yang laen juga diem aja. Daripada nyawa melayang.”
Saya bergidig mendengar penjelasan si nenek. Terbayang oleh saya film “Sang Penari” yang saya tonton beberapa waktu lalu. Film itu menceritakan mengenai nasib sebuah desa di pelosok Jawa yang terkenal dengan budaya ronggengnya. Desa tersebut terlibat peristiwa pembantaian karena sempat menerima bantuan sembako dari “Partai Merah” (istilah yang digunakan untuk menyebut PKI dalam film tersebut).
Benar-benar tragedi yang ironis mengingat seluruh penduduk desa yang dibantai sejatinya hanyalah korban konspirasi suatu pihak yang ingin merebut kekuasaan di negeri ini. Dan tregedi mengerikan yang hanya saya lihat dalam film, disaksikan langsung oleh sang nenek dengan mata kepalanya sendiri semasa kecil.
Laju bus mulai melambat perlahan. Rupanya kami sudah sampai di terminal tujuan. Aku pun berpisah dengan nenek tersebut dan bergabung dengan teman-teman yang tadi duduk di bagian bus depan. Sebelum berpisah, sang nenek masih sempat memberikan pesan terakhirnya
“Inget, jangan sampe lupain sejarah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar