“Hei
Tong, sini duduk di belakang, ntar pegel lu bediri!”
Suara
Nenek yang cukup kencang itu membahana seantero dalam bus hingga mengagetkan
penumpang lain. Melihat dirinya yang menatap tegas ke arahku, sepertinya aku
tak punya pilihan lain.
“Kalo
gak dituruti entar malah marah lagi, hihihi.” Ujarku dalam hati. Aku pun
menyambut perintahnya sesegera mungkin.
“Bukan
nek, saya udah kuliah.”
Aku
tersenyum. Tiba-tiba muncul sedikit rasa narsis. Ternyata tampangku dianggap seperti
masih anak sekolah, hehehe. Yah, mungkin saja tampang anak sekolahan semasa Nenek
itu muda tampangnya ya model begini.
“Kuliah
dimana?”
“Di
UGM Jogja nek, lagi liburan makanya pulang.”
“Pulang?
Lu orang Jakarta apa Betawi?”
Jakarta
atau Betawi? Terdengar seperti pertanyaan lama yang menjebak. Karena melihat atributnya
yang sederhana, sontak aku menjawab tanpa berpikir panjang.
“Betawi,
nek”
“Apa,
betawi!? bukan Betawi tong, Betawi itu asalnya dari Batavia, orang Belanda yang
bikin! Yang bener itu Jakarta asalnya dari Jaya ing karta, dari kesultanan
Banten. Pelajaran saya waktu masih SMP tuh, masih nenek inget. Makanya, jangan
lupain sejarah, belajar dari sejarah!”
Aku
kaget mendengar jawaban si nenek. Aku pernah mendengar kata-kata yang sama seperti
itu dalam film Sang Murabbi. Film yang mengisahkan tentang Alm. Ust. Rahmat
Abdullah, seorang ulama kharismatik dari Jakarta. Seketika, takjub dan malu
bercampur menjadi satu. Dibalik penampilannya yang sederhana, ternyata terdapat
kebijaksanaan dan wawasan yang luar biasa dalam diri Si Nenek. Jarang sekali
saya menemui orang seperti ini.
“Oiya,
bener juga Nenek, hehehe.”
“Kuliah
jurusan apaan lu tong?”
DEGG
. .
Mendadak
agak kelu rasanya menjawab pertanyaan si nenek. Bagaimana tidak? Aku kuliah di
jurusan yang mempelajari bahasa dan budaya Jepang. Negara yang terkenal akan
kekejamannya pada masa perang dunia II di hampir seluruh wilayah Asia Timur dan
Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sebuah fakta yang memilukan, bahwa negara
yang dulu menjajah negeri ini dengan amat kejam lewat sistem romusha dan jugun ianfu, kini justru amat digemari budaya popnya oleh anak muda
negeri ini.
“Di
Fakultas Ilmu Budaya, nek. Belajar mengenai budaya termasuk sejarah juga,
hehehe.”
Dalam
hati, aku merasa tidak enak. Tidak bohong sih, tapi rasanya ada hal yang
mengganjal dalam hati.
“Wah,
bagus tuh. Inget, tong. Jangan pernah malu ama budaya dan sejarah negara sendiri. Saya nih, gini-gini biar kata aslinya
orang Jawa, tapi kelahiran Jakarta. Jadi udah cinta banget ama Jakarta.”
Setelah
itu, si nenek menceritakan bagaimana dia amat mencintai Jakarta dan keragaman
budayanya. Beliau amat prihatin dengan kondisi generasi muda saat ini yang
lebih menyenangi budaya pop dibanding budaya tradisional daerahnya sendiri.
Anak-anak muda Jakarta saat ini jauh lebih mengenal lagu-lagu band daripada
Jali-Jali atau Keroncong Kemayoran, lebih menggemari artis film maupun boyband
zaman sekarang dibanding seniman asli Jakarta seperti Benyamin Suaeb, sang
seniman serba-bisa.
Tidak
hanya pada generasi muda, beliau juga miris dengan pemerintah negeri ini yang
menurutnya kurang cakap mengapresiasi karya anak bangsa. Beliau mengambil
contoh lagu Bengawan Solo karya Alm. Gesang yang sangat populer hingga ke
negeri matahari terbit. Bangsa Jepang, yang meski dulu sempat menoreh tinta
hitam dalam sejarah Indonesia, ternyata sangat menyenangi, menggemari dan
mengapresiasi lagu tersebut dengan amat baik.
Bahkan, orang-orang Jepang sampai membuat taman yang didedikasikan
khusus kepada sang seniman. Indonesia? Sebelum ada apresiasi dari Jepang, tidak
terdengar tindak-tanduknya dalam usaha melestarikan karya seni tersebut.
Kesimpulan
yang saya ambil dari obrolan saya dengan si nenek mengenai kesadaran budaya dan
sejarah cukup sederhana. Bagi saya, tidak mengapa menggemari budaya pop lokal
maupun mancanegara seperti Jepang, Korea, atau negara-negara Barat. Namun yang
terpenting adalah jangan sampai kehilangan identitas budaya bangsa sendiri.
Indonesia adalah negara dengan tingkat multikultural tertinggi yang menjadi
kebanggaan dan mengundang decak kagum bangsa lain terhadap Indonesia di dunia
Internasional. Jika generasi muda bangsa ini mulai melupakan sejarah dan
budayanya, apalagi yang bisa dibanggakan dari negeri ini?
Kami
melanjutkan pembicaraan. Entah mengapa,
rasa-rasanya topik perbincangan ini semakin berat.
“Dari
lahir tahun 1947, ampe sekarang bingung rasanya liat buku sejarah banyak yang
gak sesuai sama kenyataan.”
“Nenek
lahir tahun 1947? Berarti Nenek sempet
ngalamin kejadian 30 September PKI?”
“Iya, waktu itu saya gak di Jakarta, tapi di
Madiun. Bener-bener serem situasi pas jaman itu.”
“Serem
gimana nek?”
“Banyak
mayat yang ngambang di kali, tapi gak ada yang berani nolongin gara-gara takut
di cap PKI. Saya yang lewat ama penduduk yang laen juga diem aja. Daripada
nyawa melayang.”
Saya
bergidig mendengar penjelasan si nenek. Terbayang oleh saya film “Sang Penari”
yang saya tonton beberapa waktu lalu. Film itu menceritakan mengenai nasib
sebuah desa di pelosok Jawa yang terkenal dengan budaya ronggengnya. Desa
tersebut terlibat peristiwa pembantaian karena sempat menerima bantuan sembako
dari “Partai Merah” (istilah yang digunakan untuk menyebut PKI dalam film
tersebut).
Benar-benar
tragedi yang ironis mengingat seluruh penduduk desa yang dibantai sejatinya
hanyalah korban konspirasi suatu pihak yang ingin merebut kekuasaan di negeri
ini. Dan tregedi mengerikan yang hanya saya lihat dalam film, disaksikan
langsung oleh sang nenek dengan mata kepalanya sendiri semasa kecil.
Laju
bus mulai melambat perlahan. Rupanya kami sudah sampai di terminal tujuan. Aku
pun berpisah dengan nenek tersebut dan bergabung dengan teman-teman yang tadi
duduk di bagian bus depan. Sebelum berpisah, sang nenek masih sempat memberikan
pesan terakhirnya
“Inget,
jangan sampe lupain sejarah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar